Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Sebut nama Suci (23), di kawasannya ia lebih dikenal daripada nama bupati-bupati. Ya, Suci sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari panggung hiburan dangdut di belahan utara Jawa Tengah bagian timur, di samping hiburan tarian tayub. Juga di berbagai kota di pesisir utara Jawa Timur.
Tiada hari tanpa goyang di pentas dangdut bagi Suci. Dalam setahun, istirahatnya praktis hanya selama masa puasa (40 hari). Di luar masa itu, penyanyi Blora kelahiran Pati, Jawa Tengah, 24 Juli 1984, ini tak henti-hentinya manggung, manggung, dan terus manggung.
"Berangkat pentas biasanya lepas magrib. Selesai lewat tengah malam. Setiap hari. Capek sekali, tapi ya dinikmati saja," ungkap Suci. Kelompok dangdut Sanjaya tempat dia kerja (dipimpin Ketut Sanjaya, seorang wanita) memang sedang laris-larisnya di kawasannya.
Saat ditemui di Desa Badong, Blora—markas grup Sanjaya— Minggu (19/8), Suci tengah bersiap berangkat pentas ke Desa Bulu Kropak di Kecamatan Wirosari, Kabupaten Grobogan. Mereka diminta keluarga Paul (bule) dan Fanni—warga Bulu Kropak— untuk memeriahkan suasana peringatan HUT Kemerdekaan di desa itu, yang disponsori Paul. Bulan Agustus ini tak satu hari pun lowong pentas bagi Sanjaya.
Belah semangka
Suci—lengkapnya, Suci Rahayu—memang sudah menjadi selebritas di daerahnya sendiri. Sampai-sampai, rombongan pawai 17-an (pawai 17 Agustus di Blora) pun perlu menghentikan langkahnya sesaat hanya gara- gara peserta pawai ingin menyapa Suci.
"Maksud saya mau menonton pawai. Eh, malah pawainya berhenti. Pesertanya pada berteriak, ’Eh, itu Suci! Itu Suci! Mana dong, goyang belah semangkanya…’," tutur gadis lajang, yang ke mana- mana masih suka menyandang helm di atas sepeda motor bebeknya, di jalanan antara Cepu-Blora ini.
Suci memang sangat dikenal publiknya gara-gara goyang panasnya. Selain selalu menggeletar-geletarkan pinggulnya, Suci selalu mempermainkan panggung: berdiri dan menari di atas kotak pengeras suara, goyang di depan pemain gitar, drum, atau jumpalitan dengan gaya koprolnya, dari ujung ke ujung panggung. (Sehari-hari, lulusan SMA Muhammadiyah Cepu ini halus dan pemalu).
Biasa terjadi, pada giliran Suci menyanyi, publik lantas terangsang bergerak. Bergoyang, mengikuti entakan irama lagu dangdut-rock yang dibawakannya. Sering memang, pejoget ribut sehingga di beberapa desa, Suci "dibatasi" tampilnya. Tapi tak dilarang.
Karmila, lagu lama ciptaan almarhum penyanyi Farid Harja, yang membawa Suci meledak di panggung. Hampir setiap kali pentas, publik memintanya menggoyangkan lagu pop ini dengan irama rock-house-dut. Musiknya dangdut, diwarnai alunan rock dan entakan disko masa kini (yang mereka sebut sebagai musik house).
Belakangan, publik juga suka meminta Kucing Garong, lagu asal Indramayu yang kini meledak di hampir setiap pentas dangdut. Atau lagu lokal, Seksi, yang tentunya juga disertai goyangan seksi pemilik tubuh bertinggi 160 cm ini….
Bayaran dipotong
Suci memang menjadi "trademark" kelompoknya, kelompok musik Sanjaya. Sampai-sampai, orang tak mau disuguhi grup musik Sanjaya tanpa kehadiran Suci. "Harus ada Suci. Nggak ada Suci, bukan Sanjaya," ungkap sang manajer, Ketut Sanjaya, wanita kelahiran Blora yang nama aslinya adalah Siti Rohmah Yuniastuti.
Ketut mengungkapkan pengalaman pahitnya ketika Sanjaya diminta mengisi acara dangdut di sebuah perhelatan sunatan di Blora tiga bulan silam. "Gara-gara Suci sakit dan tak bisa pentas, kami dipotong bayaran Rp 650.000 sama yang punya hajat. Mereka maunya ada Suci," ungkap Ketut Sanjaya, yang mengaku cukup kewalahan melayani tawaran manggung di Blora dan sekitarnya, bahkan sampai Jawa Timur.
Tawaran memang bertubi-tubi datang bagi Sanjaya untuk mentas di wilayah yang jauh dari tempatnya. Namun hampir semuanya ditampik. Mereka lebih memilih tampil di Blora dan sekitarnya saja.
"Tawaran dari luar tak terhitung. Dari Jakarta, bahkan Sumatera, Malaysia, Korea, Arab Saudi. Urusan paspor, semua akan mereka urusi," ungkap Ketut Sanjaya, yang dulunya juga penyanyi organ dangdut dari panggung ke panggung, antarkampung.
Suci pun tak luput dari incaran berbagai pihak. "Anissa Bahar (penyanyi dangdut Jakarta) minat mengontrak saya lima tahun. Tetapi saya masih berat meninggalkan (Sanjaya). Di sini saya sudah seperti keluarga sendiri," ungkap Suci, yang mengaku honornya bernyanyi sendirian—jika tampil di luar grup Sanjaya (Ketut membolehkannya)—hanya Rp 500.000. Jika tampil bersama grupnya, honornya lebih kecil dari itu.
"Honor penyanyi saya ada kelas-kelasnya," ungkap Ketut. Suci tentu kelasnya di urutan pertama, menyusul tiga penyanyi utama Sanjaya lainnya, seperti Tia (bulan lalu ia kawin dengan seorang polisi, dan diganti Murti), Ita, serta Nia. Mantan penyanyi Sanjaya, Dina, malah sudah menjadi juara kontes dangdut KDI ke-3, sedangkan Ria jadi juara Mama Mia di televisi.
"Bagi saya, bukan besarnya honor, tetapi di sini sudah seperti keluarga. Ada job lain pun, saya selalu melalui Mamah (sebutannya untuk Ketut, sang manajer)," ungkap Suci, anak yatim piatu yang sudah ditinggal mati kedua orangtuanya ketika ia masih anak balita.
Berkat Suci, yang bergabung dengan Sanjaya sekitar empat tahun silam, Sanjaya memang melambung melebihi grup-grup lain di kawasannya. Sebut saja grup Metro, Rass, Camelia, Birawa (Jepara), Rollysta (Pati), Pantura, Nirwana, Indramaya, Satria (Demak), Jawara, Deva, Sagita, Morista, Mbalelo, Orlando, Vera Nada, Barista, Tepas (Purwodadi).
Bahkan, tak kalah meledaknya jika dibandingkan dengan grup- grup Jawa Timur yang terlebih dahulu populer, seperti Sera (Pasuruan), Palapa, Brodin, Monata dari Surabaya. Salah satu resep suksesnya, ya itu tadi: goyang Suci. Murti, satu-satunya penyanyi Sanjaya yang menguasai langgam dan sindenan Jawa, adalah daya tarik lainnya....
Kebanyakan temen-temen dari daerah lain, pemudanya kebanyakan gengsi mendengarkan lagu dangdut. Diangapnya kurang gaul dsb. Bedanya, kalau sudah memasuki wilayah Gerbangkertasusila (gresik, bangkalan, mojokerto,
Seperti, kemarin pas ulang tahun Kab. Mojokerto mengundang Monata beserta artis-artis popularnya seperti Lilin herlina dan Lusiana Safara. Kedua artis ini paling banyak penggemarnya karena suara dan sopan-santunya di atas panggung. Tidak goyang (ngebor), hampir dikatakan nyaris tidak goyang (just for song) atau istilah gaul arek-arek penggemar orkes dijuluki dengan istilah “Goyangan alus”. Sayangnya dalam acara itu, yang tadinya dirangkai dengan ceramah agama yang disampaikan oleh Wak Kaji Show (KH. Abdullah said) dari pasuruan kurang dapat dinikmati. Tadinya banyak yang hadir seperti ibu-ibu, bapak-bapak beserta anak-anak mereka termotivasi oleh kehadiran Wak Kaji Show, merasa kecewa karena wak kaji show tidak menyampaikan ceramahnya, hanya memberikan salam dan sambutan sebentar tidak lebih dari 5 menit, kemudian pulang. Dari pengakuan KH. Abdullah said di JTV mesti hanya sekitar 5 menit beliau mendapat saku 3 jt dengan perincian 2 jt dari JTV dan 1 juta dari Bupati Mojokerto. Tapi yang namanya orkes, mesti peminat pengajiannya pulang dan saatnya dimulai orkes jumlah penontonya masih tetap ribuan.
Kembali ke masalah inti yaitu Orkes. Ada beberpa pertanyaan, kenapa hal ini terjadi..?. Padahal lagu-lagunya masih itu-itu saja. Di kaset-kaset sudah banyak beredar, terlebih hasil bajakan berupa rekaman dari salah satu pentas (show) sangat mudah didapatkan, hanya butuh Rp. 3.000-5.000 per kepingnya, dan jika dibuktikan hampir merata masyarakat telah memilikinya. Apalagi kalau ada hajatan disertai dengan bunyi sound system, dijamin full music dangdung koplo ala jawa timur.
Jika dilihat dari seni bermusik, empat orkes lokal tersebut tidak juga terlalu jauh beda kualitasnya dengan ribuan lainnya. Pemusiknya adalah orang-orang yang sama, tapi hanya ada pergantian beberapa saja untuk nama orkes yang berbeda. Tapi tetap saja, begitu nama orkes lokal tersebut terdengar pentas shownya dapat dipastikan pengunjung akan penuh. Pendapatan jasa parkir sekali show bisa mencapai 10-15 juta dengan 5000 per/sepeda motor, belum mobil, dll. Mesti hanya hiburan pada hajatan seseorang untuk melaksanakan khitan/perkawinan, sering dimanfaatkan oleh perusahaan rokok untuk mempromosikan produk-produknya. Karena mungkin melihat potensi pasar yang menggiurkan dan dari segi biaya promo sangat minim. Kampanye anti narkoba di jawa timur juga memanfaatkan pentas dangdut, tapi sayangnya sejauh apa yang saja ketahui mereka yang datang ke-orkes (joget) banyak yang menggunakan narkoba apalagi Miras, mesti banyak juga yang tidak.
Insya Allah berlanjut pada tulisan selanjutnya, (insya Allah kita bahas tentang refleksi pentingnya Orkes)
1 komentar:
kok ga bisa diseting kustomisasinya!!!
Posting Komentar